Berbuka Bersama ala Walikota


PRESIDEN Joko Widodo membuat kebijakan yang mengejutkan di awal Ramadan tahun ini. Presiden melarang acara berbuka bersama di kalangan pejabat dan aparatur pemerintahan. Kebijakan tersebut langsung disikapi dengan surat arahan yang dikeluarkan Sekretaris Kabinet. Intinya, bukber dilarang di kalangan pejabat dan aparatur pemerintahan.

Larangan bukber itu sudah tersebar seantero negeri. Setiap kepala daerah pasti sudah memahami arahan dan petunjuk atas larangan itu. Seperti yang dipahami oleh Walikota Padang, Hendri Septa. Sudah tahu dengan larangan bukber itu, eh sang walikota malah membuat pernyataan akan tetap melaksanakan acara buka puasa bersama.

Walikota Hendri Septa memahami larangan itu hanyalah pada acara bukber yang terkesan bermewah-mewah, melibatkan pejabat. Baginya, tak masalah bukber tetap dilaksanakan dengan melibatkan anak yatim dan warga miskin.

Entah bagaimana persisnya larangan bukber, hal itu sejatinya tak terlalu penting bagi publik. Lebih lagi, larangan itu hanya berlaku bagi kalangan pejabat dan aparatur negara. Entah bagaimana Walikota Hendri Septa memahami larangan itu, tak penting pula bagi publik. Salah paham, kurang paham, terlalu paham, itu urusan Walikota Hendri Septa dengan atasannya, pemerintah pusat.

Hal yang menggelitik adalah kekerashatian Walikota Padang tetap menggelar acara buka bersama. Acara bukber itu akan dilakasanakan di rumah dinas walikota. Acara tersebut melibatkan anak yatim dan warga miskin di sekitar rumah dinas.

Menurut Walikota Hendri Septa, kegiatan bukber itu sudah menjadi rutinitas. Lebih lagi, kegiatan ini melibatkan anak yatim dan warga miskin di sekitar rumah dinas. Memberi kebahagiaan kepada anak yatim dan fakir miskin adalah kebaikan bernilai pahala berlipat ganda di bulan suci.

Bukber di rumah dinas walikota dengan melibatkan anak yatim dan fakir miskin di sekitar rumah dinas menjadi ironi. Pasalnya, kegiatan itu hanya menyentuh segelintir anak yatim dan fakir miskin. Anak yatim dan fakir miskin tak hanya ada di sekitar rumah dinas walikota, tapi tersebar di seluruh sudut Kota Padang. Apakah Walikota Hendri Septa merasa anak yatim dan fakir miskin di luar sekitaran rumah dinasnya itu tak pantas pula diundang untuk bukber?

Walikota Hendri Septa seharusnya memahami kalau ia adalah pemimpin di Kota Padang. Ia bukan hanya pemimpin di sekitaran rumah dinasnya. Anak yatim dan fakir miskin yang berserak-serak seantero Kota Padang ini adalah tanggung jawabnya sebagai pemimpin.

Kalau tak bisa mengajak berbuka bersama semua anak yatim dan fakir miskin di Kota Padang, setidaknya Walikota Hendri Septa tidak membuat kebijakan yang terkesan pilih kasih. Acara bukber dengan anak yatim dan fakir miskin di sekitaran rumah dinas yang dibuat Walikota Hendri Septa justru akan menyakiti perasaan anak yatim dan fakir miskin di luaran rumah dinas. Siapa yang akan mengajak mereka berbuka bersama?

Acara bukber di rumah dinas walikota itu pada akhirnya terkesan sebagai rutinitas, seremonial belaka. Bisa juga sebagai alat pencitraan. Masyarakat tak butuh seremonial. Masyarakat butuh kebijakan yang nyata yang membela nasib mereka.

Larangan bukber oleh Presiden Jokowi seharusnya tidak dipahami sebagai sebuah aturan saja. Ada makna filosofi di balik kebijakan itu. Ada pesan moral secara implisit yang ingin disampaikan Presiden.

Dalam surat arahan yang dikeluarkan Sekretariat Kabinet, larangan bukber ini memang didasari karena kondisi transisi pandemi covid-19. Tapi secara moral, ada makna yang lebih luas dari larangan itu. Secara kontekstual, larangan itu berarti kritikan terhadap pejabat dan aparatur negara yang belakangan ini santer dengan aksi pamer dan berfoya-foya di media sosial. Bukber ala pejabat selama ini terkesan bermewah-mewahan. Dilaksanakan di hotel berbintang atau rumah dinas dengan layanan katering terbaik. Tak mengherankan, biaya pelaksanaannya mencapai miliaran rupiah.

Larangan bukber ini secara moral bisa juga berarti kritik terhadap kebijakan parsial pejabat selama ini. Jamaknya, bukber ini biasanya melibatkan kalangan pejabat atau aparatur negera. Masyarakat dilibatkan hanya segelintir saja. Seperti bukber yang akan diadakan oleh Walikota Padang, Hendri Septa yang hanya mengundang anak yatim dan fakir miskin di sekitaran rumah dinasnya. Kebijakan parsial, bahkan terkesan diskriminatif dan menciptakan kecemburuan sosial. Larangan bukber pejabat dan aparatur negara ini juga berarti berhentilah membuat kebijakan yang parsial dan diskriminatif. Kalau mau berbuka bersama juga, maka kasih makanlah seluruh warga Kota Padang ini.

Kebijakan larangan bukber ini memang terkesan mengejutkan. Terkesan aneh dan menyebalkan juga. Tapi, mengingat sekarang adalah tahun politik, ada postifnya juga kebijakan ini. Setidaknya, tak ada lagi yang menjadikan acara bukber sebagai kegiatan politik. Karena, sudah jadi kebiasaan, selesai bukber pejabat, akan ada pembagian sembako, kain sarung, mukenah, dan sebagainya. Dan, barang-barang yang dibagikan itu tersimpan dalam kantong dan tas yang bergambarkan kepala daerah, bacaleg, dan mereka yang akan maju di Pemilu, Pilpres atau Pilkada. Mujurnya, agama tidak lagi dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Presiden Jokowi sudah melarang bukber untuk pejabat dan aparatur negara. Pejabat di daerah seharusnya tunduk dan melaksanakan kebijakan itu. Tak usah sok-sokan membuat tafsir baru, membuat bukber ala-alaan kepala daerah. Salah-salah menafsirkan, kena semprit baru tahu.* 

Oleh: A.R. Rizal

Susahnya Mengaku Curi Start



SEBAGAI sosok yang sudah diproklamirkan sebagai calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang, wajar bila Anies Baswedan selalu dimintai komentarnya. Pernyataan mantan Gubernur DKI itu akan selalu seksi dan bernilai berita. Anies dimintai komentarnya tentang tudingan curi start kampanye terhadap dirinya. Dengan diplomatis, mantan Menteri Pendidikan itu membantah melakukan curi start. Apa yang dilakukannya selama ini dengan berkeliling seantero negeri seraya dielu-elu sebagai calon presiden hanyalah bentuk akselerasi terhadap partai dan masyarakat yang telah mendukung dirinya.

Kalau pertanyaan curi start kampanye dialamatkan kepada Anies Baswedan, pastilah para pendukung fanatiknya akan berkata pertanyaan itu sangat tendensius. Sengaja untuk menjebak dan menjerumuskan. Pasalnya, curi start bisa menjadi stigma yang menjatuhkan elektabilitas dan popularitas.

Tentu saja, pertanyaan serupa bisa diajukan kepada Prabowo, atau Ganjar Pranowo dan sosok lainnya yang secara gamblang telah memproklamirkan diri sebagai capres atau cawapres. Tapi, apa pula kuasa kita untuk melarang orang bertanya. Suka-suka orang bertanyalah. Yang penting di sini, orang akan menilai jawabannya.

Jawaban Anies yang menyanggah melakukan curi start kampanye terkesan tidak gentle. Dengan kegiatan mengumpulkan orang banyak, spanduk dan baliho dukungan capres yang terserak di mana-mana, sudah jelas kalau Anies Baswedan curi start kampanye Pilpres. Pasalnya, KPU telah menetapkan jadwal Pilpres. Pendaftaran capres-cawapres dimulai pada Oktober hingga November akhir tahun ini. Tahapan kampanye Pilpres pun sudah ditetapkan. Kampanye dimulai November 2023 hingga Februari 2024. Mempromosikan diri, konsolidasi, akselerasi atau apalah namanya di luar jadwal yang telah ditetapkan KPU itu bisa disebut curi start.

Anies Baswedan seharusnya tak perlu merasa malu dan risih mengakui telah melakukan curi start. Tih, hal yang sama juga dilakukan oleh tokoh-tokoh yang lain.

Apa salahnya mengakui curi start? Padahal, curi start itu tak serupa dengan maling ayam. Tidak haram, tidak pula melanggar hukum. Sanksi yang mungkin diberlakukan hanyalah sanksi pelanggaran ketertiban umum. Hal itu bila baliho dan spanduk yang berterbaran itu dipasang di sembarang tempat. Hal itu bila, kumpulan orang-orang pada acara dukung-mendukung itu membuat rusuh, huru-hara dan macet jalanan. Atau panitia penyelenggaranya mangkir bayar sewa gedung dan katering.

Stigma akan menjadi mimpi buruk bagi para politisi. Stigma curi start bisa menggerus elektabilitas dan popularitas. Itulah yang ditakutkan oleh para politisi. Mereka kemudian menciptakan bermacam narasi dan dalih untuk menangkal segala stigma.

Stigma itu padahal sebenarnya tak terlalu berpengaruh pada pendukung fanatik. Anies Baswedan itu sudah banyak pendukung fanatiknya. Mau Anies distigmakan baik atau buruk, itu sama sekali takkan mempengaruhi pendukung fanatik. Yang bisa terpengaruh hanyalah yang di luar pendukung fanatik. Hal itu sebenarnya bisa dikelola dengan baik.

Tidak selamanya stigma itu menjadi kampanye negatif. Pandai-pandai mengelolanya saja. Dalam dunia jurnalistik ada istilah bad news is good news. Informasi yang buruk itu bisa menjadi informasi yang sangat bagus.

Dahulu, stigma sebagai menteri yang teraniaya di zaman Megawati justru membuat SBY melanggeng dengan nyaman ke kursi Presiden RI. Citra negatif, bila dikelola dengan baik akan bisa menjadi sesuatu yang menaikan elektabilitas dan popularitas.

Setiap informasi itu semacam pisau bermata dua. Jawaban Anies Baswedan tentang curi start bisa berdampak ganda. Bantahannya bisa bermakna bahwa Anies adalah sosok yang taat aturan. Tapi, bisa juga bermakna bahwa dia tidak gentleman. Sejauh mana dua hal ini memberi pengaruh yang lebih kuat, bisa dilihat di hari lain.

Yang pasti, Pilpres masih panjang. Tahapannya masih banyak. Segala sesuatunya bisa terjadi. Saat ini yang penting nikmati saja tontonannya. Jangan buru-buru menilai, apalagi memvonis. Sebab benci bisa berubah cinta. Cinta mati bisa menjadi benci setengah mati. Sekarang, dipandang-pandang saja dahulu. Sebab, cinta datang dari mata turun ke hati. Ahai!* 

Oleh: A.R. Rizal

Politik Identitas


TIBA-tiba saja, si fulan menulis gelar haji di depan namanya. Selama ini, tak banyak orang tahu kalau ia telah berhaji. Tak tampak ciri-ciri haji pada dirinya. Sepulang dari Tanah Suci, si fulan tetap saja jarang ke masjid yang berada tak jauh dari rumahnya. Tak pernah ikut pengajian ataupun peringatan hari besar keagamaan. Tapi, sekarang ia kemana-mana memakai sorban. Usut punya usut, rupanya si fulan mau nyaleg pada 2024 nanti.

Sejumlah politisi kini tiba-tiba menjadi orang saleh dan saleha. Bukan tanpa alasan. Mereka melakukan hal itu untuk sebuah misi pencitraan. Orang-orang ini sedang memainkan politik identitas.

Isu politik identitas kini begitu heboh. Hal itu salah satunya dipicu oleh Partai Ummat yang secara terbuka memproklamirkan diri mengusung politik identitas. Selama ini, banyak politisi yang malu-malu memakai politik identitas. Politik identitas dianggap tabu, penuh cela. Sekarang, tak ada lagi rasa malu dan segan.

Politik identitas bukanlah barang baru. Hal ini menjadi isu panas dengan adanya label cebong dan kampret. Isu agama, suku, dan ras menjadi perdebatan panas dalam Pilkada DKI Jakarta yang memenangkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Kemenangan politik identitas menginspirasi banyak politisi kekinian. Sejarah Pilkada DKI hendak diulang lagi di level Pilpres. Anies hendak disandingkan dengan Sandi di Pilpres mendatang.

Tak ada salahnya dengan politik identitas. Selama tak melanggar aturan Pemilu dan perundang-undangan yang berlaku, tak ada masalah. Tapi secara etika, mempolitisi agama, suku, ras, dan gender tidaklah bijak. Dalam kacamata demokrasi, ini tidaklah demokratis. Demokrasi mestinya dibangun atas logika, objektivitas, dialog, dan ide.

Jika ada yang memainkan politik identitas, tentunya mereka sudah bersiap-siap dengan resikonya. Anies Baswedan sendiri akan gamang untuk memainkan politik identitas. Tantangan bagi politik identitas adalah pada satu pertanyaan sederhana saja. Misalnya, ketika Anies memainkan identitas agama, terutama agama Islam, pertanyaan besarnya adalah apakah Anies sudah menjadi muslim yang taat? Misalnya lagi, ia memainkan identitas budaya Jakarta dengan Betawi, pertanyaannya, apakah Anies orang Betawi sejati?

Permainan politik identitas bisa menjadi blunder yang fatal. Dalam banyak peristiawa, partai politik yang memainkan politik identitas dihantam oleh isu sederhana saja. Dahulu, ada isu hangat tentang anggota DPR-RI yang ketahuan melihat situs porno di gadget-nya ketika sedang rapat di Senayan. Sementara, ia mengindentifikasikan diri sebagai sosok yang alim, seorang ustad.

Ada juga kasus anggota dewan yang ketahuan membawa cewek yang bukan muhrimnya ke tempat penginapan. Ketika ada simpatisannya yang menjadi pelaku pedofil, kasuk-kusuklah partainya melakukan sanggahan. Isu-isu sederhana ini akan menjadi pukulan telak bagi partai politik atau politisi yang memainkan politik identitas.

Tantangan bagi Partai Ummat adalah bagaimana menjadikan kader dan simpatisannya menjadi penganut agama yang taat. Kalau dalam faktanya, banyak kader dan simpatisan yang justru tidak taat kepada ajaran agama, maka habislah partai ini dibully di Pemilu nanti.

Politik identitas memang menggiurkan. Apalagi, masyarakat cendrung fanatik dengan isu agama, suku, dan ras. Masih banyak masyatakat yang terjebak dengan primordialisme. Ada yang percaya, identitas agama di atas segala-galanya. Sehingga adigium: walaupun saya tidak salat, tidak puasa, tapi kalau agama saya dihina, maka saya rela bertaruh nyawa. Walau saya tak pandai mengaji, tentu saja yang saya pilih adalah si fulan yang pandai mengaji.

Tapi, politik identitas itu ada resikonya. Dengan ketiadaan melek politik, politik identitas bisa menjadi minyak yang menyulut api besar. Isu agama, suku, dan ras bila tidak dikelola dengan baik akan menciptakan fanatisme sempit dan primordialisme akut. Hal ini bisa memicu konflik, perpecahan, atau setidaknya pengotak-ngotakan masyarakat. Akan muncul kembali isu cebong dan kampret yang melelahkan itu.

Jika politik identitas hanya sebagai bungkusan, sebatas barang jualan, hal itu sungguh tak mendidik dan mencerdaskan. Identitas itu menjadi esensial apabila ia menjadi wacana untuk kemanjuan dan keberkembangan. Politik identitas sebatas pencitraan justru menjadi kemunduran.

Politik identitas bisa menjadi sebuah kemunduran dalam demokrasi. Sudah saatnya negeri ini dibangun oleh politik narasi. Politik yang mengedepankan ide-ide untuk perbaikan bangsa. Tak perlu lagi memperdebatkan agama di ranah politik. Perdebatan agama ada di ranahnya sendiri.

Tidak masanya lagi seseorang dipilih hanya karena kesalehannya, hanya karena pandai berceramah, atau karena sorban yang dipakainya. Kesalehan itu keniscayaan. Tapi, untuk mengurus bangsa, tidak cukup hanya dengan gelar haji. Ia harus punya ide-ide besar untuk kemaslahatan bangsa ini.* 

Oleh: A.R. Rizal

Pegawai Hedon



KEPALA Kantor Bea dan Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta, Eko Darmanto barangkali terlalu banyak piknik. Heboh pegawai pajak yang tajir melintir, Rafael Alun, Eko masih saja pamer gaya hidup jetset di media sosial. Bergaya dengan moge, hingga pesawat cessna. Tanpa ampun, akun medsosnya pun diserbu netizen. Netizen sampai membuat taggar BeaCukaiHedon.

Eko Darmanto sedang diusut oleh bos besarnya, Kementrian Keuangan. Setelah membubarkan klub moge di kalangan pegawai pajak, Menteri Keuangan Sri Mulyani seperti sedang bersih-bersih institusinya dari perilaku hedon. Tak jelas, apakah Eko Darmanto benar-benar tajir melintir atau hanya sekadar gagah-gagahan saja di medsos, yang pasti penampakan gaya hidup hedon itu tak elok dipandang mata.

Pegawai hedon kini mejadi sorotan publik. Hal itu karena terkuaknya kasus penganiayaan yang dilakukan anak pegawai pajak. Si anak suka memarkan gaya hidup mewah di media sosial. Hal itu menjadi blunder. Kelakuan sang anak berimbas kepada kedua orang tua. Harta kekayaan keluarga pegawai pajak ini pun diusut.

Gaya hidup hedon di media sosial bukanlah barang baru. Sejumlah orang memamerkan gaya hidup mewah sebagai konten di media sosial. Sebatas dunia tipu-tipu. Fenomena itu sempat terhenti ketika sejumlah orang yang suka pamer gaya hidup jetset itu terbelit kasus hukum. Satu persatu mereka terjerat bui karena penipuan dan kasus lainnya. Kenyataan ini seharusnya menjadi warning bagi para pegawai pemerintahan. Jangan latah ikutan pamer di medsos. Bisa bernasib seperti Pak Eko. Habis dibantai netizen dia.

Pamer gaya hidup di medsos itu menjadi semacam candu. Tak hanya di kalangan pegawai teras, tapi juga pegawai rendahan. Mereka suka sekali up segala hal di medsos. Makan di cafe, sedang perjalanan dinas, bahkan sedang ngopi saja di-up. Orang-orang jadi tahu tentang kehidupannya dari A sampai Z.

Apa tujuan pamer di medsos itu? Tak ada. Hanya terbawa arus saja. Meniru orang-orang. Berharap menjadi viral, kemudian mendapatkan ketenaran dan pundi-pundi uang. Bagi pegawai, itu langkah yang sangat beresiko. Sebab, mereka selalu menjadi perhatian publik.

Tak hanya pegawai, pamer di medsos juga dilakukan oleh orang awam. Godaan medsos telah mendatangkan penyakit sosial. Orang pamer, curhat di medsos, bahkan tak sungkan mengumbar kehidupan pribadinya.

Pegawai hedon tentu saja akan menjadi santapan empuk publik. Pasalnya, para pegawai ini digaji oleh negara. Bahasa kasarnya, mereka makan dari uang rakyat. Kalau mereka bisa kaya raya, kenapa untuk orang miskin negara selalu kehabisan uang? Pegawai hedon benar-benar menampar rasa keadilan publik.

Gaya hedon di medsos itu kadang tidaklah sebenarnya. Ada pegawai yang hidup pas-pasan, tapi bisa tergoda pamer di medsos. Pamer barang-barang kawe, pamer kehidupan mewah, padahal kenyataannya hidupnya teramatlah susah. Kebiasaan menipu publik di medsos ini sudah menjadi semacam penyakit sosial.

Ada satu atau dua pegawai yang seperti Gayus, seperti Rafael atau seperti Pak Eko. Akan tetapi, lebih banyak pula pegawai yang hidupnya memprihatinkan. Sudah berpuluh tahun mengabdi, pangkat tak naik-naik juga. Berpuluh tahun berada di tempat kering. Yang di tempat basah, dia ke dia saja. Terjadi kecemburuan sosial.

Pegawai di daerah terpencil lebih memprihatinkan lagi. Hidup di tengah keterbatasan infrastruktur. Berpanas, berhujan, masuk-keluar hutan, biaya hidup tak sesuai dengan pendapatan. Pegawai bernasib seperti ini banyak sekali.

Anak pegawai pajak Rafael, aksi pamer Pak Eko tak hanya menyakiti perasaan publik. Parahnya lagi, mereka seperti menampar koleganya sendiri. Menari-nari di atas nasib pegawai lainnya yang masih kesusahan.

Publik dengan tegas menyentil pegawai sok pamer ini. Kontrol dan pengawasan seharusnya dimulai dari internal. Ada fungsi pengawasan, pembinaan, bahkan sanksi bila terjadi pelanggaran. Yang lebih penting adalah sesama pegawai saling mengingatkan. Lebih baik diingatkan kolega ketimbang dihakimi oleh netizen. Kalau sampai pula dilaporkan ke Inspektorat, habislah sudah. Habis karirmu kawan.

Hidup ini penuh dengan godaan. Media sosial adalah godaan terbesar di abad ini. Karena itu, berpandai-pandailah jadi pegawai.* 

Oleh: A.R. Rizal

Rumah Seniman



SEJUMLAH orang menggagas hadirnya rumah seniman di Sumatera Barat. Bukan gagasan baru. Malah terkesan sebagai gagasan lama yang mati suri dan coba dihidupkan kembali. Seperti membangkitkan kembali si kuntilanak.

Sebagai sebuah ikhtiar, ide tersebut patut diapresiasi. Kalau hanya sebagai sekadar wacana, buang-buang waktu saja membahasnya. Ada persoalan lebih mendasar dalam dunia berkesenian yang perlu mendapat perhatian dan layak diperbincangkan. Sebagai sebuah ide untuk memanfaatkan momentum tahun politik, pengapungan ide rumah seniman itu terkesan aji mumpung. Setengah hati. Sudah pasti, ujungnya tidak akan baik-baik saja.

Boleh saja memperdebatkan rumah seniman secara terminologi, historis, pragmatis, hingga filofis. Tapi, apa untungnya bagi dunia berkesenian itu sendiri. Seni itu bukan sekadar wacana. Esensi seni itu justru pada karya. Wacana berfungsi untuk menumbuhkan, membesarkan, dan menghidupkan karya. Tentu saja ada nasib seniman di dalamnya.

Rumah seniman bagi seorang seniman itu adalah dunia ide dan imajinasi. Hal itu bersifat imajiner. Di luar itu, seniman bisa saja membutuhkan ruang atau tempat untuk mengungkapkan ide dan imajinasinya itu. Soal rumah di luar ide dan imajinasi itu sekarang sudah beralih dengan perubahan dan pergeseran zaman.

Rumah seniman dalam artian fisik sebenarnya sudah digagas banyak orang. Bengkel seni, galeri, dan sejenisnya tumbuh dan ditumbuhkan. Tak perlu juga peran pemerintah daerah, rumah-rumah seni itu hadir sacara otonom. Fadli Zon dan Taufiq Ismail sudah membangun rumah seniman itu dengan mendirikan rumah puisi di Agam. Tempatnya bagus, megah, menjadi surga bagi seniman untuk berkarya. Tapi, tidak semua seniman membutuhkan rumah seperti yang digagas Fadli Zon dan Taufiq Ismail itu.

Seniman kadang hanya membutuhkan garase rumah atau sudut kecil di pekarangan belakang. Bahkan, sekarang seniman hanyan membutuhkan sebuah akun di media sosial. Ia bisa berkarya di dunia maya yang lebih terbuka dan memerdekakan diri.

Rumah-rumah maya ini kini bertebaran di mana-mana. Berkembang dengan pesat. Aplikasi, platform memberikan ruang bagi seniman untuk menunjukan eksistensinya. Seniman juga punya rumah di dalam dunia maya. Kecendrungan perubahan zaman dan perkembangan teknologi kadang mengharuskan seniman berumah di dunia maya. Seperti dunia metaverse yang diciptakan Mark Zuckerberg.

Rumah seniman tentu saja tidak hanya dalam pengertian fisik. Kalau mau diterjemahkan lebih rumit, ya bisa saja. Rumah seniman bukan saja sebuah tempat untuk berkarya dan menjual karya, ia juga bisa berarti tempat untuk membangun imajinasi, kaderisasi, workshop, dan lain sebagainya. Ah, itu terlalu rumit untuk dipikirkan seniman. Seniman itu sederhana saja, asal bisa berkarya, maka hidupnya akan baik-baik saja. Barangkali, rumah seniman itu memang perlu dipikirkan oleh orang lain.

Seniman butuh ruang untuk berkarya. Kadang membutuhkan fasilitas juga. Di Sumatera Barat, fasilitas untuk seniman itu boleh dibilang sangat minim. Bahkan, miris. Tidak ada gedung pertunjukan yang layak dan membanggakan. Tidak ada ruang galeri yang bagus. Tidak ada subsidi untuk seniman. Kalau mau berkarya, ya berkarya sajalah. Makan, carilah sendiri. Kalau tak bisa mencari, ya matilah kelaparan.


Dukungan terhadap seniman selama ini hanya sebatas dengungan. Menjadi kata pemanis para pencari simpati, para pencari citra, dan para pemegang kuasa. Gedung kebudayaan yang megah saja tak selesai-selesai. Tak ada komitmen pula untuk menyelesaikannya. Sementara, belum tentu juga Gedung kebudayaan itu akan menjadi rumah yang ideal bagi seniman.

Tapi, rumah seniman itu ada di dalam dirinya sendiri. Diri yang merdeka. Di tengah keterbatasan, seniman tetap bisa mengciptakan karya-karya hebat. Bahkan, karya-karya besar justru muncul di tengah keterbatasan.

Pramoedya Ananta Toer menciptakan karya sastra menumental di pengasingan. Chairil Anwar mencipta puisi hebat ketika dalam keadaan terpuruk, miskin, dan sakit-sakitan. Kembali lagi, Taufiq Ismail mencipta Tirani dan Benteng di saat negeri sedang chaos, di saat kemerdekaan berpendapat dan berserikat dibelenggu. Seorang seniman bisa mencipta karya di antara desing peluru. Kadang, ia tak membutuhkan benteng yang kokoh sebagai rumahnya.

Rumah seniman itu seperti penting tidak penting untuk dibahas. Apalagi yang membahasnya bukan pula seniman atau orang-orang yang memahami seni.

Bagi seniman itu ada atau tidak adanya rumah, mereka akan tetap berkarya. Tidak ada beras untuk ditanak, mereka akan tetap berkarya. Yang bisa menghentikan seniman itu berkarya adalah bila akal sehat sudah dicabut dari benaknya. Tapi, kadang tidak seperti itu juga. Seniman bahkan tetap berkarya dalam keadaan gila. Karya-karya gila kemudian muncul dari seniman-seniman gila. Seniman yang biasa-biasa, kadang menghasilkan karya yang biasa-biasa juga.* 

Oleh: A.R. Rizal

Kantong-kantong Budaya



RENCANA membangun hotel di Taman Budaya heboh di lini massa. Banyak kalangan seniman dan budayawan yang menolak. Terutama, seniman dan budayawan yang biasa mangkal di Taman Budaya. Bermacam argumen pun dilontarkan terkait penolakan tersebut. Ada alasan teknis, teoritis, filosofis, pragmatis, historis, hingga romantisme.

Dalam ruang wacana, biasa saja muncul pro dan kontra. Penolakan terhadap pembangunan hotel patut diapresiasi. Ide membangun hotel untuk memberi nilai yang lebih kepada Taman Budaya juga patut diinap-inapkan. Anggap saja itu sebagai ikhtiar untuk menjadi lebih baik.

Di balik penolakan, ada sebuah pertanyaan menggelitik. Apakah Taman Budaya masih dibutuhkan? Maksudnya, apakah fasilitas kebudayaan yang terpusat di satu titik di pusat pemerintahan itu masih dibutuhkan? Tentu saja masih ada yang membutuhkan. Tapi, sebesar apa kebutuhan tersebut?

Di era digital dan desentralisasi, hukum alam mengharuskan semua hal tak lagi terpusat. Contoh sederhana saja, dalam lingkup ekonomi nasional, selama ini titik pertumbuhan terjadi di Ibukota Jakarta. Tapi, sekarang sudah beralih. Kantong-kantong pertumbuhan baru muncul di luar Jakarta. Bahkan di luar Pulau Jawa. Demikian pun dengan kebudayaan. Kegiatan kebudayaan tak lagi terpusat di Ibukota. Bahkan, kantong-kantong kebudayaan muncul di seluruh daerah di Tanah Air. Tidak hanya di perkotaan, tapi sampai ke pelosok kampung. Orang kampung kini bisa membuat festival seni dan budaya dengan level internasional.

Kota Padangpanjang yang kecil berhasil menggelar pertemuan penyair se-Asia Tenggara. Kabupaten Dharmasraya mampu menggelar Festival Pamalayu. Festival seni dan budaya bahkan dihelat sampai ke tingkat nagari, desa, hingga kelurahan. Bahkan, dalam ruang yang lebih kecil, seniman dan budayawan bisa menggelar festival berskala besar secara mandiri. Seniman dan budayawan di daerah tak perlu lagi berbondong-bondong datang ke Padang hanya untuk menampilkan karyanya. Ruang kini terbuka. Bahkan di dunia maya.

Dengan zaman yang terus berubah, mempertahankan Taman Budaya itu menjadi pekerjaan yang berat. Pekerjaan yang berat, tapi hasilnya bisa jadi tidak efektif dan efisien. Sebab, ini seperti menentang takdir zaman saja. Daripada capek-capek mengurus Taman Budaya, lebih baik mengurus yang lain. Mengurus seni dan budaya secara lebih esensial.

Hal yang esensial saat ini adalah menumbuhkan kantong-kantong budaya. Kegiatan seni dan budaya itu tak mulu terpusat di suatu titik. Kantong-kantong budaya ini tumbuh secara alamiah, digerakan oleh individu, komunitas yang ada di sekitarnya. Hal semacam ini akan lebih awet dan tumbuh dengan baik.

Upaya desentralisasi ini sudah dilakukan oleh institusi yang bergiat di bidang seni dan budaya. Misalnya, Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat sangat aktif membina kantong-kontong budaya di berbagai daerah. Begitu juga dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Sumbar yang menggelar festival seni dan budaya sampai ke nagari dan jorong-jorong. Hal semacam ini yang perlu mendapat dukungan.

Kantong-kantong budaya ini akan memberi ruang bagi semua orang. Tak hanya untuk maestro, seniman dan budayawan yang masih belajar pun mendapatkan ruang. Ini akan menciptakan iklim berkesenian dan berkebudayaan yang lebih sehat.

Selama ini ada semacam stigma, kalau mau berkembang, maka harus dekat dengan Taman Budaya. Sehingga ada muncul istilah seniman dan budayawan Taman Budaya. Mereka yang selama ini mendapat ruang. Yang pada akhirnya memunculkan fenomena, mereka ke mereka saja.

Dunia kini semakin sempit. Hal itu karena ruang semakin terbuka untuk siapa saja. Untuk menjadi seniman dan budayawan yang mendunia, tak harus mesti merantau ke Jawa. Banyak seniman di kampung-kampung yang bisa eksis di level internasional. Banyak seniman dan budayawan yang tak pernah bersentuhan dengan Taman Budaya, bisa berkarya di level nasional dan internasional.

Zaman sudah berubah. Persepsi tentang seni dan budaya juga beralih. Semua harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Kalau tak bisa menyesuaikan diri, ya bisa-bisa digilas zaman. Kalau tidak berubah, maka akan seperti ini saja. Lambat-laun Taman Budaya itu akan menjadi seperti bangunan purbakala. Ketika yang bisa mangkal di sana tergilas oleh zaman, maka semakin sepi dan heninglah tempat itu dari karya seni dan budaya.

Kantong-kantong budaya ini yang harus mendapatkan dukungan maksimal. Hal itu bisa dengan mengalihkan perhatian terhadap Taman Budaya kepada kantong-kantong budaya ini. Logika sederhananya, pembangunan gedung budaya yang menghabiskan anggaran puluhan miliar itu bila digunakan untuk mendukung kantong-kantong budaya ini maka kegiatan seni dan budaya di daerah akan menggeliat hebat. Lebih banyak pula seniman dan budayawan yang bisa makan. Kalau Taman Budaya itu mau dijadikan hotel, biarkan sajalah. Yang lebih penting, anggaran kebudayaan harus lebih banyak untuk menumbuhkan kantong-kantong budaya, menghidupkan lebih banyak seniman dan budayawan di daerah ini.* 

Oleh: A.R. Rizal

BIM dan Diaspora Minang



BANDARA Internasional Minangkabau yang jadi kebanggan masyarakat Sumatera Barat terancam turun status. Status internasional akan tercabut dan berganti menjadi bandara nasional. Dengan begitu, kecuali untuk haji dan umroh, tak ada lagi penerbangan internasional dari dan ke Sumbar secara langsung.

Penurunan status sejumlah bandara internasional tentu karena bermacam pertimbangan. Salah satu pertimbangannya  barangkali karena biaya operasional yang tinggi. Lebih lagi, di masa pandemi kemarin, penerbangan internasional turun drastis. Bahkan, mati suri. Sementata di BIM, jumlah penerbangan internasional tidaklah mengembirakan. Selain penerbangan umroh dan haji, perbangan internasional langsung hanya ke Kuala Lumpur yang dilayani maskapai Air Asia. Secara ekonomi, ini tentu tidak efisien.

Dengan turunnya status BIM menjadi bandara nasional tentu akan merugikan Sumbar. Terutama dari aspek pariwisata. Lebih lagi, saat ini Sumbar sedang gencar-gencarnya mempromosikan pariwisatanya ke dunia. Hal itu setelah rendang ditetapkan sebagai makanan terenak di dunia, kemudian Nagari Pariangan menjadi desa terindah di dunia. Kota tua Sawahlunto juga menjadi warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO. Artinya, Sumbar mempunyai objek wisata yang punya nilai jual di tingkat internasional.

Tapi, menarik wisatawan asing berkunjung ke Sumbar itu tidaklah gampang. Kunjungan wisatawan asing ke Sumbar kalah telak dari Bali atau Lombok. Padahal, keindahan alam dan budaya Sumbar tak kalah dari dua provinsi itu. Dengan status sebagai bandara nasional, Sumbar takkan bisa mendatangkan wisatawan asing langsung ke daerah ini. Hanya bisa menarik wisatawan asing yang transit dari daerah lain. Bisa jadi, wisatawan asing itu tak menjadikan Sumbar sebagai destinasi utama.

Sepinya penerbangan internasional di BIM tentu masalahnya bukan pada pengelola bandara saja. Bukan pula semata kesalah pemerintah daerah. Tapi, dengan kreativitas dan inovasi, permasalahan ini sebenarnya bisa dicarikan solusinya.

Sumbar tak perlu repot-repot untuk merayu wisatawan asing untuk berkunjung ke daerah ini. Cukup manfaatkan saja diaspora Minang yang tersebar di berbagai belahan dunia. Diaspora Minang itu jumlahnya jutaan. Bayangkan, bila mereka membuat acara pulang basamo, langsung ramai penerbangan internasional di BIM itu.

Pulang basamo sudah menjadi tradisi masyarakat Minang yang berada di perantauan. Jumlah orang Minang yang merantau itu mencapai jutaan. Setiap musim Lebaran, ramailah Sumbar dengan perantau. Hanya saja, tradisi ini tak terlalu menggeliat di kalangan diaspora Minang.

Potensi diaspora Minang ini sungguh luar biasa. Mantan Wakil Ketua DPR-RI, Fahri Hamzah yang orang NTB malah takjub dengan potensi diaspora Minang ini. Di luar negeri, orang-orang berdarah Minang ini bukanlah orang sembarangan. Ada yang menjadi ilmuan dunia, jadi istri perdana menteri, jadi menteri negara, bahkan ada yang jadi presiden.

Menurut Fahri Hamzah, jika diaspora Minang ini dirangkul, maka itu akan memberi dampak yang sangat dahsyat bagi daerah ini. Contoh sederhananya, pulang basamo saja mereka saat Lebaran, maka hiduplah perekenomian di Sumbar. Belum lagi ketika mereka memanfaatkan keilmuan, kapasitas dan pengaruhnya untuk membangun Sumatera Barat.

Apa yang tak bisa dilakukan oleh Presiden Singapura, Halimah Yacob untuk kenangan masa lalunya? Presiden perempuan pertama Singapura itu walau tak berdarah Minang pasti takkan pernah lupa dengan kenangan sebagai penjual nasi padang. Ia pasti ingat dengan Presiden pertama Singapura, Yusof Ishak yang merupakan keturunan Minang. Ini merupakan potensi luar biasa yang bisa dimanfaatkan bila dikelola dengan baik.

Diaspora Minang memiliki komunitas yang solid dan kuat. Di Australia misalnya, komunitas Minang ini bahkan secara rutin menampilkan kesenian dan budaya Minang dalam berbagai kegiatan. Artinya, mereka secara emosional terikat kuat dengan negeri asalnya. Sangat mudah untuk mengajak mereka pulang basamo dan meramaikan penerbangan internasional di BIM.

Tugas para pemimpin di Sumbar untuk merangkul diaspora ini. Kalau perlu, fasilitasi mereka. Yang pasti, diaspora ini punya rasa terikat yang kuat dengan tanah tumpah darahnya. Tak mungkin pula mereka menjadi benalu, merongrong tanah kelahirannya sendiri. Yang ada selama ini, orang Minang yang tinggal di negeri orang itu selalu berkirim ke kampung halamannya. Kiriman orang-orang rantau inilah yang menjadi penggerak utama ekonomi di Sumbar.

Rumah besar dan mewah banyak terdapat di kampung-kampung. Rata-rata, rumah itu dibangun dari uang kiriman orang rantau. Masjid dan surau begitu megah. Rata-rata juga dibangun dari uang kiriman orang rantau. Bila potensi diaspora dikelola dengan baik, ini akan menjadi kekuatan ekonomi yang begitu hebat.

Potensi diaspora belum dimanfaatkan dengan baik. Barangkali, hal ini karena pemimpin di Sumbar belum terbuka untuk melihat potensi ini. Diaspora ini rata-rata berpikiran maju dan terbuka. Karena itu, perlu pendekatan khusus. Tapi, orang-orang ini bukanlah tipe yang tak peduli dan enggan berbuat untuk tanah kelahirannya. Bila didekati dan dirangkul dengan baik, mereka akan melakukan yang terbaik untuk negeri ini. Terbukti, tanpa diminta, tanpa difasilitasi saja, orang Minang di negeri orang itu terus berbuat untuk kampung halamannya. Mereka yang menjadi penggerak denyut nadi di kampung halaman. Tinggal mendorong peran mereka itu menjadi lebih besar lagi. Kalau hanya sekadar meramaikan penerbangan internasional ke BIM, itu mudah sekali.* 

Oleh: A.R. Rizal