PRESIDEN Joko Widodo membuat kebijakan yang mengejutkan di awal Ramadan tahun ini. Presiden melarang acara berbuka bersama di kalangan pejabat dan aparatur pemerintahan. Kebijakan tersebut langsung disikapi dengan surat arahan yang dikeluarkan Sekretaris Kabinet. Intinya, bukber dilarang di kalangan pejabat dan aparatur pemerintahan.
Larangan bukber itu sudah tersebar seantero negeri. Setiap kepala daerah pasti sudah memahami arahan dan petunjuk atas larangan itu. Seperti yang dipahami oleh Walikota Padang, Hendri Septa. Sudah tahu dengan larangan bukber itu, eh sang walikota malah membuat pernyataan akan tetap melaksanakan acara buka puasa bersama.
Walikota Hendri Septa memahami larangan itu hanyalah pada acara bukber yang terkesan bermewah-mewah, melibatkan pejabat. Baginya, tak masalah bukber tetap dilaksanakan dengan melibatkan anak yatim dan warga miskin.
Entah bagaimana persisnya larangan bukber, hal itu sejatinya tak terlalu penting bagi publik. Lebih lagi, larangan itu hanya berlaku bagi kalangan pejabat dan aparatur negara. Entah bagaimana Walikota Hendri Septa memahami larangan itu, tak penting pula bagi publik. Salah paham, kurang paham, terlalu paham, itu urusan Walikota Hendri Septa dengan atasannya, pemerintah pusat.
Hal yang menggelitik adalah kekerashatian Walikota Padang tetap menggelar acara buka bersama. Acara bukber itu akan dilakasanakan di rumah dinas walikota. Acara tersebut melibatkan anak yatim dan warga miskin di sekitar rumah dinas.
Menurut Walikota Hendri Septa, kegiatan bukber itu sudah menjadi rutinitas. Lebih lagi, kegiatan ini melibatkan anak yatim dan warga miskin di sekitar rumah dinas. Memberi kebahagiaan kepada anak yatim dan fakir miskin adalah kebaikan bernilai pahala berlipat ganda di bulan suci.
Bukber di rumah dinas walikota dengan melibatkan anak yatim dan fakir miskin di sekitar rumah dinas menjadi ironi. Pasalnya, kegiatan itu hanya menyentuh segelintir anak yatim dan fakir miskin. Anak yatim dan fakir miskin tak hanya ada di sekitar rumah dinas walikota, tapi tersebar di seluruh sudut Kota Padang. Apakah Walikota Hendri Septa merasa anak yatim dan fakir miskin di luar sekitaran rumah dinasnya itu tak pantas pula diundang untuk bukber?
Walikota Hendri Septa seharusnya memahami kalau ia adalah pemimpin di Kota Padang. Ia bukan hanya pemimpin di sekitaran rumah dinasnya. Anak yatim dan fakir miskin yang berserak-serak seantero Kota Padang ini adalah tanggung jawabnya sebagai pemimpin.
Kalau tak bisa mengajak berbuka bersama semua anak yatim dan fakir miskin di Kota Padang, setidaknya Walikota Hendri Septa tidak membuat kebijakan yang terkesan pilih kasih. Acara bukber dengan anak yatim dan fakir miskin di sekitaran rumah dinas yang dibuat Walikota Hendri Septa justru akan menyakiti perasaan anak yatim dan fakir miskin di luaran rumah dinas. Siapa yang akan mengajak mereka berbuka bersama?
Acara bukber di rumah dinas walikota itu pada akhirnya terkesan sebagai rutinitas, seremonial belaka. Bisa juga sebagai alat pencitraan. Masyarakat tak butuh seremonial. Masyarakat butuh kebijakan yang nyata yang membela nasib mereka.
Larangan bukber oleh Presiden Jokowi seharusnya tidak dipahami sebagai sebuah aturan saja. Ada makna filosofi di balik kebijakan itu. Ada pesan moral secara implisit yang ingin disampaikan Presiden.
Dalam surat arahan yang dikeluarkan Sekretariat Kabinet, larangan bukber ini memang didasari karena kondisi transisi pandemi covid-19. Tapi secara moral, ada makna yang lebih luas dari larangan itu. Secara kontekstual, larangan itu berarti kritikan terhadap pejabat dan aparatur negara yang belakangan ini santer dengan aksi pamer dan berfoya-foya di media sosial. Bukber ala pejabat selama ini terkesan bermewah-mewahan. Dilaksanakan di hotel berbintang atau rumah dinas dengan layanan katering terbaik. Tak mengherankan, biaya pelaksanaannya mencapai miliaran rupiah.
Larangan bukber ini secara moral bisa juga berarti kritik terhadap kebijakan parsial pejabat selama ini. Jamaknya, bukber ini biasanya melibatkan kalangan pejabat atau aparatur negera. Masyarakat dilibatkan hanya segelintir saja. Seperti bukber yang akan diadakan oleh Walikota Padang, Hendri Septa yang hanya mengundang anak yatim dan fakir miskin di sekitaran rumah dinasnya. Kebijakan parsial, bahkan terkesan diskriminatif dan menciptakan kecemburuan sosial. Larangan bukber pejabat dan aparatur negara ini juga berarti berhentilah membuat kebijakan yang parsial dan diskriminatif. Kalau mau berbuka bersama juga, maka kasih makanlah seluruh warga Kota Padang ini.
Kebijakan larangan bukber ini memang terkesan mengejutkan. Terkesan aneh dan menyebalkan juga. Tapi, mengingat sekarang adalah tahun politik, ada postifnya juga kebijakan ini. Setidaknya, tak ada lagi yang menjadikan acara bukber sebagai kegiatan politik. Karena, sudah jadi kebiasaan, selesai bukber pejabat, akan ada pembagian sembako, kain sarung, mukenah, dan sebagainya. Dan, barang-barang yang dibagikan itu tersimpan dalam kantong dan tas yang bergambarkan kepala daerah, bacaleg, dan mereka yang akan maju di Pemilu, Pilpres atau Pilkada. Mujurnya, agama tidak lagi dimanipulasi untuk kepentingan politik.
Presiden Jokowi sudah melarang bukber untuk pejabat dan aparatur negara. Pejabat di daerah seharusnya tunduk dan melaksanakan kebijakan itu. Tak usah sok-sokan membuat tafsir baru, membuat bukber ala-alaan kepala daerah. Salah-salah menafsirkan, kena semprit baru tahu.*
Oleh: A.R. Rizal